Seperti Apakah Dusta Yang Diperbolehkan Dalam Islam
Seperti Apakah Dusta Yang Diperbolehkan Dalam Islam | Alhamdulillah, shalawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Sesungguhnya diantara prinsip dasar agama Islam yang mulia ini adalah syariatnya yang selalu mengajarkan kebaikan kepada pemeluknya, melarang setiap hal yang membawa bahaya dan kejelekan, serta menutup segala celah yang membawa kerusakan baik di dunia maupun akhirat. Oleh karena itu, Allah dan Rasul-Nya melarang kezaliman baik bagi diri sensdiri maupun orang lain. Diantara bentuk larangan tersebut adalah larangan berdusta (berbohong), yang dapat menimbulkan permusuhan dan pertikaian sebagai akibat dari lisannya yang zalim. Sungguh Allah dan Rasulullah telah melarangnya secara tegas di dalam Al-Qur’an dan al-Hadist karena keburukan-keburukan yang dihasilkan darinya.
Namun, dalam hadist yang shahih Rasulullah menyebutkan adanya dusta yang dibolehkan. Nah, apa sajakah keadaan-keadaan tersebut dan apa maksud dusta yang diperbolehkan tersebut? Melalui Buletin Online Jum’at, kami akan membahasnya secara ilmiah , Insya Allah agar jangan sampai masalah dusta disalahpahami sehingga terjatuh ke dalam asal dari hukum berdusata yaitu haram.
Terkait dengan ini, Allah menyatakan, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu dimintai pertanggunjawabannya,” (QS al-Isra’ [17]:36)
Dan Allah berfirman, “tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS Qaf [50]:18)
Rasulullah bersabda, “Jauhilah oleh kalian dusta, karena sesungguhnya dusta akan membawa kepada kefajiran akan membawa kepada neraka, dan sungguh seorang akan berduta hingga dicatat oleh Allah sebagai pendusta.” (HR Muslim no. 2607)
Dan masuk dalam hal ini adalah membicarakan segala Sesutu yang ia dengar. Rasulullah bersabda, “Cukuplah seorang dianggap pendusta jika ia selalu membicarakan segala sesuatu yang ia dengar.” (HR Muslim no.5)
Beliau juga bersabda, “Saya menanggung bahwa rumah disurga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun di pihak yang benar, dan rumah di tengah-tengah surge bagi orang yang meninggalkan dusta walaupun sekedar main-main dan rumah surge paling atas bagi yang baik alkhlaknya.” (ash-Shaihah: 273)
Bahwasannya pembicaraan merupakan perantara untuk menuju kepada sesuatu maksud. Maka itu, baik maksud yang untuk menghasilkannya dapat dilakukan tanpa berdusta, maka berdusta dalam keadaan demikian adalah haram. Akan tetapi, jikalau maksud baik itu tidak mungkin dihasilkannya melainkan degan berdusta disitu juga mubah hukumnya, sedang jikalau menghasilkannya itu merupakan sesuatu yang wajibmaka bedusta itu pun menjadi wajib pula hukumnya. Misalnya, jikalau ada seseorang muslim bersembunyi dan menyembunyikan hartanya dari kejaran seorang yang zalim yang ingin membunuhnya dan hendak mengambil hartanya, lalu ada seseorang yang ditanya, maka wajiblah orang itu berdusta dengan maksud untuk menyembunyikan orang tersebut. Demikian pula, jikalau disisinya ada suatu masalah dan ada orang zalim hendak mengambilnya, maka wajiblah bagi orang yang diamanahi itu berdusta dengan maksud menyebunyikannya. Akan tetapi, yang lebih berhati-hati dalam kesemuannya ini ialah melakukan tauriyah. Makna tauriyah ialah menggunakan suatu ungkapan yang pada hakikatnya benar menurut dirinya sendiri, walaupun tampaknya sebagai kata-kara dusta menurut lahiriah lafal yang diucapkan bagi orang yang diajaknya berbicara. Namun demikian, andai kata ia tidak menggunakan tauriyah, tetapi menggunakan ucapan yang bear-bear dusta, maka hal itupun tidak dilrang dalam kondisi yang seperti ini.
Para ulama mengambil dalil tentang bolehnya berdusta dengan Hadist Ummu Kultsum bahwasanya ia mendengar Rasulullah bersabda:
“Tidaklah disebut dusta, orang yang bermaksud mengadakan perbaikan hubungan diatara manusia yang sedang berselisih, lalu ia menyampaikan sesuatu berita yang baik-baik atau megucapkan yang baik-baik.” (HR Bukhari no. 2546 dan Muslim no. 2605)
Imam Muslim menambahkan dalam riwayatnya no. 2605: Ummi Kultsum berkata: “Saya tidak pernah mendengar Rasulullah meringankan dalam segala sesuatu yang diucapkan manusia itu (berdusta), melaikan dalam tiga keadaan, yaitu: dalam peperangan, dalam mendamaikan manusia yang sedang berselisih, dan ucapan suami kepada seorang istrinya, atau seorang istri kepada suaminya.”
Dari Atha’ bin Yasar berkata, ‘Wahai Rasulullah, berdosakah saya jika saya berdusta kepada istri saya?’ Rasulullah berkata, ‘Ya, sesungguhnya Allah tidak mencintai dusta.’ Lalu orang tersebut berkata lagi,’ Wahai Rasulullah, saya ingin mendamaikannya dan menyenangkan hatinya.’ Rasulullah bersabda, ‘(Kalau begitu) tidak mengapa.’” (ash-Shaihah: 498)
Berkata Qashi Iyadh, “Adapun kedustaan menghalangi hak suami atau hak istri atau agar suami mengambil apa yang bukan hak nya maka hal ini adalah haram berdasarkan ijmak (kesepakatan ulama).” (Umdatul Qari’ 13/270)
Berkata Syaikh Albani, “Bukanlah termasuk dusta yang dibolehkan, seorang suami yang menjanjikan suatu yang tidak ingin ia tepati atau menggambarkan bahwa ia telah membelikan kepadanya suatu kebutuhan dengan harga sekian, melebihi kewajaran, demi mencari ridhanya karena hal tersebut terkadang akan terbongkar sehingga akan menyebabkan istri berburuk sangka kepada suaminya. Dan hal tersebut adalah kerusakan bukan perbaikan.” (as-Shaihah 1/497)
Adapun contoh yang benar, misalnya tatkala seorang suami makan masakan istrinya kemudian didapati masakanya kurang lezat; biasanya seorang istri jika melihat suami makannya kurang selera ia akan bertany, “Makanannya kurang Lezat?” Akan tetapi, yang perlu diingat, janganlah sang suami menjadikan dusta kepada istrinya menjadikan perkerjaannya sehari-hari, tetapi ia berdusta tatkala benar-bear dibutuhkan dan jelas kemaslahatannya. Kerana, jika istri telah mengetahui telah dibohongi oleh suaminya, apalagi sampai berulang-ulang maka ia tidak akan mempercayai lagi ucapan suaminya dikemudian hari dan bisa jadi ia akan berburuk sangka kepada suaminya.
Tauriyah ini termasuk solusi agama untuk menghindari kondisi-kondisi sulit yang terjadi pada seseorang. Di kala ditannya oleh seseorang tentang suatu urusan, sedang ia tidak ingin memberitahukannya secara apa adanya pada satu sisi lain ia tidak mau berbohong.
Tauriyah dibenarkan untuk orang yang mengucapkannya ketika diperlukan atau terdapat kemslahatan agama. Tidak selayaknya serig mempergunakanya sehingga menjadi kebiasaan. Oleh karena itu, para ulama berpendapat haramnya tauriyah tanpa ada keperluan dan kemaslahatan.
Search : Seperti Apakah Dusta Yang Diperbolehkan Dlam Islam, Dusta, Dusta Dalam Islam, Dusta Suami Istri, Tauriyah, Hukum Dusta Dalam Islam.
Smbr: Buletin Al Furqon, Tahun ke-7 Volume 7 no.3
Sesungguhnya diantara prinsip dasar agama Islam yang mulia ini adalah syariatnya yang selalu mengajarkan kebaikan kepada pemeluknya, melarang setiap hal yang membawa bahaya dan kejelekan, serta menutup segala celah yang membawa kerusakan baik di dunia maupun akhirat. Oleh karena itu, Allah dan Rasul-Nya melarang kezaliman baik bagi diri sensdiri maupun orang lain. Diantara bentuk larangan tersebut adalah larangan berdusta (berbohong), yang dapat menimbulkan permusuhan dan pertikaian sebagai akibat dari lisannya yang zalim. Sungguh Allah dan Rasulullah telah melarangnya secara tegas di dalam Al-Qur’an dan al-Hadist karena keburukan-keburukan yang dihasilkan darinya.
Namun, dalam hadist yang shahih Rasulullah menyebutkan adanya dusta yang dibolehkan. Nah, apa sajakah keadaan-keadaan tersebut dan apa maksud dusta yang diperbolehkan tersebut? Melalui Buletin Online Jum’at, kami akan membahasnya secara ilmiah , Insya Allah agar jangan sampai masalah dusta disalahpahami sehingga terjatuh ke dalam asal dari hukum berdusata yaitu haram.
Pengertian Dan Hukum Asal Berdusta
Dusta adalah memberikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kebenaran, baik dengan ucapan lisan secara tegas maupun isyarat seperti menggelengkan kepala atau mengangguk. Dan hukum asal berdusta adalah haram bahkan ia termasuk dosa yang paling keji dan aib yang paling buruk.Terkait dengan ini, Allah menyatakan, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu dimintai pertanggunjawabannya,” (QS al-Isra’ [17]:36)
Dan Allah berfirman, “tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS Qaf [50]:18)
Rasulullah bersabda, “Jauhilah oleh kalian dusta, karena sesungguhnya dusta akan membawa kepada kefajiran akan membawa kepada neraka, dan sungguh seorang akan berduta hingga dicatat oleh Allah sebagai pendusta.” (HR Muslim no. 2607)
Dan masuk dalam hal ini adalah membicarakan segala Sesutu yang ia dengar. Rasulullah bersabda, “Cukuplah seorang dianggap pendusta jika ia selalu membicarakan segala sesuatu yang ia dengar.” (HR Muslim no.5)
Bagaimana Jika Bermain-Main?
Hal ini juga terlarang karena Rasulullah bersabda, “Tidak boleh berdusta ataupu main-main, dan tidak boleh di antara kalian memberikan janji kepada anaknya (untuk memberikan sesuatu) kemudian tidak memberikanya.” (Shahih Adabul Mufrad no. 387)Beliau juga bersabda, “Saya menanggung bahwa rumah disurga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun di pihak yang benar, dan rumah di tengah-tengah surge bagi orang yang meninggalkan dusta walaupun sekedar main-main dan rumah surge paling atas bagi yang baik alkhlaknya.” (ash-Shaihah: 273)
Dusta Yang Dibolehkan
Dibawah ini kami nukilkan perkataan Imam Nawawi dalam kitab Riyad-hush Shalihin hlm. 496. Beliau berkata, ketahuilah bahwasannya dusta itu, sekalipun asal hukumnya adalah diharamkan, dapat menjadi boleh dalam sebagian keadaan, yakni dengan beberapa syarat yang sudah saya terangkan dalam kitab al-Adzkar. Adapun ringkasan tersebut ialah:Bahwasannya pembicaraan merupakan perantara untuk menuju kepada sesuatu maksud. Maka itu, baik maksud yang untuk menghasilkannya dapat dilakukan tanpa berdusta, maka berdusta dalam keadaan demikian adalah haram. Akan tetapi, jikalau maksud baik itu tidak mungkin dihasilkannya melainkan degan berdusta disitu juga mubah hukumnya, sedang jikalau menghasilkannya itu merupakan sesuatu yang wajibmaka bedusta itu pun menjadi wajib pula hukumnya. Misalnya, jikalau ada seseorang muslim bersembunyi dan menyembunyikan hartanya dari kejaran seorang yang zalim yang ingin membunuhnya dan hendak mengambil hartanya, lalu ada seseorang yang ditanya, maka wajiblah orang itu berdusta dengan maksud untuk menyembunyikan orang tersebut. Demikian pula, jikalau disisinya ada suatu masalah dan ada orang zalim hendak mengambilnya, maka wajiblah bagi orang yang diamanahi itu berdusta dengan maksud menyebunyikannya. Akan tetapi, yang lebih berhati-hati dalam kesemuannya ini ialah melakukan tauriyah. Makna tauriyah ialah menggunakan suatu ungkapan yang pada hakikatnya benar menurut dirinya sendiri, walaupun tampaknya sebagai kata-kara dusta menurut lahiriah lafal yang diucapkan bagi orang yang diajaknya berbicara. Namun demikian, andai kata ia tidak menggunakan tauriyah, tetapi menggunakan ucapan yang bear-bear dusta, maka hal itupun tidak dilrang dalam kondisi yang seperti ini.
Para ulama mengambil dalil tentang bolehnya berdusta dengan Hadist Ummu Kultsum bahwasanya ia mendengar Rasulullah bersabda:
“Tidaklah disebut dusta, orang yang bermaksud mengadakan perbaikan hubungan diatara manusia yang sedang berselisih, lalu ia menyampaikan sesuatu berita yang baik-baik atau megucapkan yang baik-baik.” (HR Bukhari no. 2546 dan Muslim no. 2605)
Imam Muslim menambahkan dalam riwayatnya no. 2605: Ummi Kultsum berkata: “Saya tidak pernah mendengar Rasulullah meringankan dalam segala sesuatu yang diucapkan manusia itu (berdusta), melaikan dalam tiga keadaan, yaitu: dalam peperangan, dalam mendamaikan manusia yang sedang berselisih, dan ucapan suami kepada seorang istrinya, atau seorang istri kepada suaminya.”
Dari Atha’ bin Yasar berkata, ‘Wahai Rasulullah, berdosakah saya jika saya berdusta kepada istri saya?’ Rasulullah berkata, ‘Ya, sesungguhnya Allah tidak mencintai dusta.’ Lalu orang tersebut berkata lagi,’ Wahai Rasulullah, saya ingin mendamaikannya dan menyenangkan hatinya.’ Rasulullah bersabda, ‘(Kalau begitu) tidak mengapa.’” (ash-Shaihah: 498)
Dusta Suami Istri?
Berkata Imam Nawawi,” Adapun sorang suami berdusta kepada istrinya dan demikian pula istri berdusta kepada suaminya, maksudnya adalah dalam rangka menampakkan kasih sayang.” (al-Minhaj 16/158)Berkata Qashi Iyadh, “Adapun kedustaan menghalangi hak suami atau hak istri atau agar suami mengambil apa yang bukan hak nya maka hal ini adalah haram berdasarkan ijmak (kesepakatan ulama).” (Umdatul Qari’ 13/270)
Berkata Syaikh Albani, “Bukanlah termasuk dusta yang dibolehkan, seorang suami yang menjanjikan suatu yang tidak ingin ia tepati atau menggambarkan bahwa ia telah membelikan kepadanya suatu kebutuhan dengan harga sekian, melebihi kewajaran, demi mencari ridhanya karena hal tersebut terkadang akan terbongkar sehingga akan menyebabkan istri berburuk sangka kepada suaminya. Dan hal tersebut adalah kerusakan bukan perbaikan.” (as-Shaihah 1/497)
Adapun contoh yang benar, misalnya tatkala seorang suami makan masakan istrinya kemudian didapati masakanya kurang lezat; biasanya seorang istri jika melihat suami makannya kurang selera ia akan bertany, “Makanannya kurang Lezat?” Akan tetapi, yang perlu diingat, janganlah sang suami menjadikan dusta kepada istrinya menjadikan perkerjaannya sehari-hari, tetapi ia berdusta tatkala benar-bear dibutuhkan dan jelas kemaslahatannya. Kerana, jika istri telah mengetahui telah dibohongi oleh suaminya, apalagi sampai berulang-ulang maka ia tidak akan mempercayai lagi ucapan suaminya dikemudian hari dan bisa jadi ia akan berburuk sangka kepada suaminya.
Tauriyah
Tauriyah adalah ucapan seseorang dengan perkataan, yang tampak artinya di pahami oleh orang yang mendengarkan, tetapi orang-orang yang mendengar mengingikan arti lain yang terkandung makna dalam perkataan itu. Seperti perkataan seseorang “Saya tidak ada dirham di saku saya”, disitu dipahami kalau dia tidak punya uang sama sekali. Padahal maksudnya, dia tidak memilika dirham, tetapi mempunyai dinar. Ini dinamakan ta’ridh atau tauriyah.Tauriyah ini termasuk solusi agama untuk menghindari kondisi-kondisi sulit yang terjadi pada seseorang. Di kala ditannya oleh seseorang tentang suatu urusan, sedang ia tidak ingin memberitahukannya secara apa adanya pada satu sisi lain ia tidak mau berbohong.
Tauriyah dibenarkan untuk orang yang mengucapkannya ketika diperlukan atau terdapat kemslahatan agama. Tidak selayaknya serig mempergunakanya sehingga menjadi kebiasaan. Oleh karena itu, para ulama berpendapat haramnya tauriyah tanpa ada keperluan dan kemaslahatan.
Search : Seperti Apakah Dusta Yang Diperbolehkan Dlam Islam, Dusta, Dusta Dalam Islam, Dusta Suami Istri, Tauriyah, Hukum Dusta Dalam Islam.
Smbr: Buletin Al Furqon, Tahun ke-7 Volume 7 no.3
0 Response to "Seperti Apakah Dusta Yang Diperbolehkan Dalam Islam"
Post a Comment
Terimakasih atas kujungannya, silahkan berkomentar dengan baik dan sopan sesuai dengan materi artikel! Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.