Tips Melanjutkan Kebaikan Ramadhan bagi Seorang Muslim
Tips Melanjutkan Kebaikan Ramadhan bagi Seorang Muslim | “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32).
Para salafus shalih pendahulu kita, tak ada yang mengaku telah bersih dan suci dari dosa setiap kali keluar dari Ramadhan. Padahal amal kebaikan mereka lebih banyak dari amal shalih kita, keburukan yang mereka lakukan jauh lebih minim dari keburukan yang kita lakukan. Mereka pun lebih banyak istighfar kepada Allah dari pada kita. Akan tetapi, mereka sangat khawatir, jikalau amal mereka tidak diterima oleh Allah. Karenanya, mereka terus berusaha mengoptimalkan seluruh potensi dan waktunya untuk berbuat kebaikan. Meskipun ramadhan telah meninggalkan mereka. Inilah karakter orang-orang yang berlomba dalam kebaikan.
Aisyah pernah bertanya kepada Nabi tentang firman Allah, “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka,.” (QS al-Mukminun: 60).
Aisyah bertanya, “Apakah mereka itu adalah orang yang minum khamr, mencuri dan berzina?” yakni apakah mereka takut kerena telah melakukan dosa-dosa? Nabi Muhammad SAW menjawab, “Bukan wahai puteri ash-Shiddiq, bahkan mereka adalah orang yang shaum, shalat, bersedekah, akan tetapi mereka takut kalau-kalu amal mereka tidak diterima. Merekalah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan,” Oleh karena itu, pada ayat selanjutnya Allah SWT berfirman, “Mereka itu bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya, “(QS al-Mukminun: 61).
JANGAN TERBUAI MAKNA IDUL FITRI
Sering kali kita terbuai istilah ‘Idul Fitri’ yang artinya kembali suci. Lalu kita merasa puas dengan apa yang kita kerjakan dan merasa sudah tidak memiliki dosa lagi. Asumsi ini memberikan peluang untuk melakukan dosa-dosa, karena toh nantinya terhapus otomatis dengan hadirnya Idul Fitri.
Memaknai jika demikian, tak ada alasan lagi kita untuk merasa puas dengan kebaikan yang telah kita lakukan. Pun, kita juga tidak tahu, apakah amal shalih yang kita lakukan di bulan Ramadhan kemarin diterima semuanya oleh Allah.
Adalah Umar bin Abdul Aziz, ketika menyelesaikan shaum Ramadhan, dan menyambut datangnya Idul Fitri, beliau berkata, “Wahai saudaraku, kalian telah shaum selama tiga puluh hari, shalat malam selama tigapuluh malam, lalu hari ini kalian keluar pada hari Id ini dengan penuh percaya diri bahwa amal Ramadhan kalian pasti diterima. Padahal sebagian kaum salaf menampakkan kesedihan di hari Idul Fitri.” Lalu seseorang menanggapi, “Tapi, Idul Fitri adalah hari kesenangan dan kegembiraan!” Beliau berkata, “Anda Benar, hanya saja kita hanyalah seorang hamba, di mana Allah memerintahkan kita melakukan suatu amalan, lalu kita tidak tahu, apakah Dia menerima amal kita ataukah tidak.” Beliaupun meneteskan air mata Idul Fitri dengan kembali suci, perlu diteliti keabsahannya. Nabi Muhammad SAW mengartikan Idul Fitri dengan hari berbuka. Sebagaimana hadist Nabi SAW, “Adapun hri fitri adalah hari berbuka dari shaum kalian.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dan yang lainnya).
TETAP TAAT MESKI RAMADHAN TELAH USAI
Berpisah dengan Ramadhan, bukan berarti berpisah dengan ketaatan. Jika memang yang kita lakukan di bulan ramadhan adalah ketaatan dan amal shalih, tentu kita akan melihat buah dan pengaruhnya dibulan-bulan setelahnya. Karena buah dari amal kebaikan adalah amal kebaikan setelahnya. Inna min jaza’il hasanah, al-hasanatu ba’daha. Sebaliknya, jika ternyata yang kita lakukan setelah Ramadhan adalah kemaksiatan dan jauh dari ketaatan, itu pertanda ditolaknya amal-amal kita. Dan bahwa yang kita lakukan di bulan Ramadhan kemarin belum memenuhi kriteria sebagai amal shalih. Inna min uqubatis sayyi’ah, as-sayyiatu ba’daha, karena balasan dari perbuatan yang buruk adalah munculnya perbuatan buruk setelahnya.
Hendaknya kita menjadi kaum Rabbaniyyun, yang mengenal Allah, tunduk dan taat kepada Allah di setiap waktu dan tempat, bukan sekedar Ramadhaniyyun, yang mengenal Allah saat di bulan Ramadhan. Alangkah baik ketika kita telah mengisi Ramadhan dengan sesuai yang dituntunkan, itu kita jadikan acuan untuk mengisi bulan-bulan lain setelahnya. Dan sebenarnya syariat juga telah mengajarkan demikian.
Pertama, ibadah shaum yang menjadi ciri khas Ramadhan, hendaknya menjadi jiwa kita di sepanjang tahun. Jika shaum menjadi perisai dari dosa di dunia, tameng dari godaan syaitan, benteng neraka di akhirat, maka kita juga membutuhkannya di luar bulan Ramadhan. Bagaimana kita sanggup menghadapi panah maksiat yang menghujani kita tanpa perisai? Tanpa perisai, mungkinkah kita sanggup menahan tajamnya syahwat yang meluncur bagai tombak dari segala penjuru? Apalagi, setan bebas bergentayangan dan menggoda kita. Selayaknya kita siapkan perisai shaum untuk menghadapi serangannya.
Karenanya, sebelum jauh kita melalaikan shaum Ramadhan, syariat telah memotivasi kita untuk shaum di bulan Syawal, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang shaum Ramadhan, lalu mengikutinya dengan shaum enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti shaum setahun penuh.” (HR.Muslim).
Adalagi shaum Arafah 9 Dzulhijjah, yang memiliki keutamaan menghapus dosa satu tahun yang telah lewat, dan satu tahun yang akan datang. Shaum Asyura’ 10 Muharram memiliki keutamaan bisa menghapus dosa-dosa satu tahun yang telah lalu. Nabi juga membiasakan shaum tiga hari setiap bulan, dan shaum senin maupun kamis.
Kedua, jika kita mengenyam rasa khusyuk di bulan Ramadhan, dan rajin mendatangi shalat jama’ah, tidakkah kita ingin melestarikannya di bulan yang lain? Karena perintah shalat berjamaah tak hanya berlaku di bulan Ramadhan. Memang benar, di bulan Ramadhan lebih mudah dan ringan untuk dikerjakan, karena setan dibelenggu.
Abu Hurairah meriwayatkan, ada seorang tuna netra mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya buta dan tidak memiliki teman yang menuntun saya ke masjid!” ia meminta keringanan kepada Nabi untuk shalat di rumah. Awalnya Nabi mengiyakan, tetapi ketika orang itu beranjak pergi, Nabi kembali memanggil dan bertanya, “Apakah kamu mendengar Adzan?” ia menjawab, “Benar.” Maka Nabi bersabda, “Kalau begitu, datanglah (untuk shalat berjamaah).” (HR.Muslim).
Simakalah hadist tersebut, lalu kita renungkan, jika orang yang tuna netra diperintah Nabi untuk mendatangi shalat berjamaah jika mendengar adzan, lantas dengan alasan apa kita yang laki-laki meminta keringanan untuk shalat di rumah. Padahal kita bisa melihat, punya kendaraan dan mendengar adzan tak hanya sekali?
Ketiga, jika kita rajin menjalankan shalat tarawih di bulan Ramadhan, maka di bulan lain, shalat malam tetap menjadi keutamaan. Dan kemuliaan orang mukmin adalah dengan shalat malam. Jika kita ingin menjadi orang shalih, maka salah satu kebiasaan yang patut kita jaga adalah shalat malam. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Hendanya kalian biasakan shalat malam, karena shalat malam adalah kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian, lebih mendekatkan kalian kepada Allah, menghapus kesalahan dan mencegah kalian dari dosa.” (HR. Tirmidzi).
Keempat, jika kita rutin tilawah dan tadarus al-Qur’an di bulan Ramadhan dan berusaha menghatamkannya, maka bukankah lebih baik jika itu menjadi kebiasaan kita di bulan lain? Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata, “Tak ada yang lebih berfaedah bagi hati dari membaca al-Qur’an dan menghayati maknanya. Dengannya akan dihasilkan cinta dan rindu kepada Allah, takut terhadap kepada-Nya, taubat dan tawakal kepada-Nya, rasa syukur dan sabar, serta segala hal yang merupakan unsur kehidupan hati dan penyempurnanya.”
Membaca satu huruf dari Al-Qur’an mendapatkan satu pahala kebaikan yang dilipatkan sepuluh kali. Bayangkanlah, berapa banyak pahala yang bisa kita kumpulkan jika dalam sehari kita membaca satu halaman, setengah juz atau bahkan satu juz dari Al-Qur’an. Bahkan, kebiasaan para sahabat mengakhatamkan al-Qur’an setiap tujuh hari sekali, yakni mereka membaca al-Qur’an 4,5 juz setiap harinya.
Kelima, kedermawanan kita di bulan Ramadhan, sepantasnya kita teruskan di bulan lain. Karena para fakir miskin memerlukan uluran tangan kita tak hanya di bulan Ramadhan.sedekah kita pun akan dilipatgandakan pahalanya, meskipun diluar Ramadhan. Nabi telah memberikan jaminan kapada kita, bahwa harta tidak akan berkutan jika disedekahkan, “Harta tidak akan berkurang karena disedekahkan.” (HR. Muslim).
Keenam, dibulan Ramadhan, suasana iman bagitu sejuk kita rasakan. Kita hadirkan segala sarana yang memudahkan untuk taat kepada Allah, kita singkirkan segala pemicu dosa dan maksiat. Hingga, ketaatan begitu mudah dikerjakan, kemaksiatan begitu mudah untuk di tinggalkan. Mengingatkan kemaksiatan begitu bebas dipertontonkan.
Seperti TV yang dimiliki hampir setiap keluarga di masyarakat kita. Sekarang saatnya kita mematikannya. Mengingat kemungkaran, kemaksiatan, dan hawa nafsu di masih memadati acara setiap harinya. Terlalu naif jika masih menanyakan buktinya. Karena hampir semua tayangan tak melupakan unsur takhayul dan kesyirikan, atau wanita yang mengumbar aurat, dan budaya gosip yang dibenci Islam.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk kaum Rabbaniyyun, yang menyembah Allah di setiap waktu dan tempat. Yang tidak terpengaruh oleh perubahan hari dan bulan, juga oleh tempat dan suasana. Yang konsisten dengan semboyan, hari ini harus lebih baik dari hari kemarin.
Search buletin: Tips Melanjutkan Kebaikan Ramadhan bagi Seorang Muslim, agar kebiasaan di bulan ramadhan senantiasa tejaga di bulan lain, ciri-ciri orang yang ramadhannya berhasil, motivasi beribadah setelah selesai ramadhan bagi seorang muslim
[Sumber: Buletin Da’wah Hidayah-Edisi 06 Syawal]
[img: http://mentoring98.files.wordpress.com/2012/07/desain-ramadhan.jpg]
0 Response to "Tips Melanjutkan Kebaikan Ramadhan bagi Seorang Muslim "
Post a Comment
Terimakasih atas kujungannya, silahkan berkomentar dengan baik dan sopan sesuai dengan materi artikel! Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.