Karena Iman Bukanlah Warisan

Karena Iman Bukanlah Warisan

Karena Iman Bukanlah Warisan | Ada peribahasa yang mengatakan, “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Maksudnya, perilaku seorang anak umumnya tidak akan jauh dari perilaku orang tuanya. Ringkas kata, orang tua yang baik biasanya melahirkan anak yang baik. Demikian pula sebaliknya, anak yang durhaka biasanya lahir dari orang tua yang durhaka pula.

Pembaca buletin hidayah yang baik, menurut peribahasa di atas orang tua bisa diibaratkan mata air dan anak laksana aliran sungainya. Maksud dari perumpamaan ini, mata air yang bersih akan mengalirkan air yang jernih. Sementara, mata air yang kotor tentu mengalirkan air yang keruh. Itulah hukum alam alias sunnatullah yang berlaku di jagat raya ini.

Dari sejarah kita mendapatkan informasi seputar sosok-sosok orang tua shaleh yang juga memiliki anak-anak saleh. Sebut saja, misalnya Nabi Ibrahim (1997-1822 SM) yang memiliki putera Nabi Ismail dan Nabi Ishak, nabi Ya’kub memiliki putera Nabi Yusuf, Nabi Daud memiliki putera Nabi Sulaiman dan Nabi Zakaria memiliki putera Nabi Yahya.

Kendati demikian, realitas sejarah juga menunjukkan bahwa peribahasa yang sudah sekian lama kita amini itu tidak mutlak kebenarannya. Fakta demikian dikonfirmasi oleh praktik keseharian kita. Bahkan, Al-Quran sendiri banyak bercerita tentang beberapa orang tua yang sangat taat tetapi justru melahirkan anak-anak yang luar biasa jahat. Dengan demikian, Al-Quran seolah menegaskan kepada kita bahwa buah memang bisa saja jatuh jauh dari pohonnya.

Simak kisah Qabil, putera sulung Nabi Adam (5872-4942 SM). Meski putera kandung seorang utusan Allah yang mulia. Pembunuhan pertama dalam sejarah manusia justru dilakukan Qabil. Kedengkian telah mendorongnya tega menghabisi adik kandungnya, Habil. Melihat kurban kambing milik Habil diterima Allah sementara kurban gandumnya ditolak, muncul amarah di hati Qabil. Ditambah keputusan sang ayah untuk menikahkan dirinya dengan Labuda yang jelek, sementara Habil dengan Iklima yang molek, dendamnya semakin membara. Bulat sudah hatinya untuk melenyapkan nyawa Habil yang sama sekali tidak berdosa.

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!." Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam” (QS. Al-Maidah:27-28).

Kisah serupa juga terjadi pada Kan’an, putra sulung Nabi Nuh (3993-3043 SM). Menurut Salim Bahreisyi, Nabi Nuh adalah keturunan Nabi Adam yang kesembilan dan merupakan nabi keempak sesudah Nabi Adam, Nabi Syits (3630-2718 SM), dan Nabi Idris (4533-4188 SM). Ayahnya bernama Lamik bin Metusyalih bin Idris. Tidak kurang 950 tahun, Nabi Nuh mengajak kaumnya kepada ajaran Tauhid. Meski siang dan malam berdahwah dalam durasi waktu sepanjang itu, jumlah pengikut Nabi Nuh hanya 70 orang dan delapan anggota keluarganya.

Ironisnya, para penentang nabi Nuh bukan hanya dari orang luar, melainkan juga putra kandungnya sendiri, Kan’an. Kedurhakaan Kan’an sungguh antitesis dari ketaatan sang ayah. Bahkan, Kan’an masih kukuh pada pendiriannya ketika Allah sudah menurunkan Azab berupa banjir dasyat. Dia tetap tidak mau ikut dalam rombongan kapal Nabi Nuh. Berulang kali Nabi Nuh memanggilanya, tetapi Kan’an memilih untuk menaiki gunung tertinggi yang dipikirnya dapat menyelamatkan dirinya dari luapan banjir bandang itu.

Seketika tubuh Kan’an disambar gelombang ganas, sehingga lenyap dari pandangan ayahnya. Timbullah naluri kebapakan Nabi Nuh. Seraya menanggung duka, Nabi Nuh mengadukan keluh kesah kepada Allah. Tetapi Allah menjawabnya dengan perintah supaya dia mencoret Kan’an dari daftar nama keluarganya, karena telah menyimpang dari ajaran kebenaran. Kedukaan Nabi Nuh itu direkam dengan jelas dalam Al-Quran.

“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya. Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya[722] perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." (QS. Hud:45-46).

Kisah Al-Quran tidak berhenti disitu. Dibeberkan pula kisah-kisah seputar sosok terhormat yang justru lahir dari orang tua terlaknat. Lihat kisah Nabi Ibrahim. Nabi dan Rasul keenam yang dilahirkan di sebuah tempat bernama Faddam A’ram di wilayah babilonia itu dikenal sebagai Abu Al-Anbiya’ (Bapak para nabi). Di negeri yang subur dan makmur itu, Nabi Ibrahim berdakwah kepada para penyembah berhala yang dikomandani Namrud bin Kan’an bin Kusi (2275-1943 SM), penguasa Babilonia kala itu. Nabi Ibrahim bahkan satu-satunya orang yang berani menghancurkan patung-patung berhala yang menjadi sesembahan penduduk negerinya.

Putra siapa gerangan Nabi Ibrahim yang tangguha dan gagah berani itu? Azar bin Nahur, begitulah nama ayahnya. Dia adalah seorang pemahat dan penjual patung berhala. Melihat kegigihan Nabi Ibrahim memberangkus patung-patung berhalanya, tentu saja Azhar marah hebat. Nabi Ibrahim kerap menerima cemoohan, kekerasan, bahka pengusiran dari ayahnya. Al-Quran mengisahkan betapa dakwah santun nabi Ibrahim kepada ayahnya disambut dengan cacian dan sumpah serapah.

Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan." Berkata bapaknya: "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama." (QS. Maryam:42-26).

Keteguhan akidah Nabi Ibrahim jelas bertolak penggung dengan semusyrikan ayah kandungnya. Persis kisah Nabi Musa (1527-1407 SM). Meski bukan anak kandung Fir’aun (1232-1224 SM), namun Nabi Musa telah dipungut raja durjana bernama Minephtah itu selama 18 tahun. Pertama melihat peti berisi bayi laki-laki yang dipungut pembentunya dari sungai Nil itu, Fir’aun segera memerintahkan orang untuk membunuhnya. Tetapi, Fir’aun tidak mempu berbuat banyak, karena permaisurinya, Asiah, sangat menyayangi bayi mungil yang merupakan putra Yukabad itu. Sesekali tidak telintas di benak Fir’aun kekejaman dan kepongahannya kelak akan berakhir di tangan seorang bayi yang justru diasuh dan dibesarkan dalam istananya.

Itulah kenapa ketika Nabi Musa dan Nabi Harun mendatangi Fir’aun untuk menyampaikan risalah dakwah dan membebaskan Bani Israil dari kekejamannya, Fir’aun nampak begitu geram. Dia merasa selama ini telah membesarkan anak singa yang kini bersiap menerkam dirinya. Kemarahan Fir’aun ini telah dikisahkan Allah dalam Al-Quran.

“Fir'aun menjawab: "Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna”. (QS. Asy-Syuara:18-19).

Makna dari semua kisah di atas tentu saja keimanan merupakan hidayah dari Allah semata, bukan warisan dari nenek moyang. Kewajiban kita adalah terus berusaha dan berdoa, agar mejadi pribadi beriman sekaligus melahirnkan generasi yang juga beriman depada Allah. Semoga kita termasuk golongan hamba Allah yang selamat di dunia ini dan Akhirat nanti.

Search Buletin : Karena Iman Bukanlah Warisan, Belajar tentang keimanan dari kisah-kisah nabi, Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya perspektif islam, Keimanan bukan karena faktor keturuan, Keimanan merupakan hidayah Allah swt

[Sumber : Buletin Da’wah Hidayah-Edisi 329 / 20 Dzulhijjah 1434 H]
[Gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2HMMwZTjMFIHotJ8u2v5w_j4X06H4vVO5-6AG8J2AKvOXneDbF-LVvh9JBM7Qec_BRogPqQQGbaFsVEjnbk9KDZInC2y62y6jg6EG7gSe-2aJ0-W95uOIcHoN6xC06h6UWrqD2pZnlLo_/s1600/sayangi-iman-anda1.jpg]

0 Response to "Karena Iman Bukanlah Warisan"

Post a Comment

Terimakasih atas kujungannya, silahkan berkomentar dengan baik dan sopan sesuai dengan materi artikel! Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.